Narasi BlogSpot

MEMBACA,MENAMBAH WAWASAN____MENULIS,MEMPERTAJAM ANALISA___DISKUSI,MEMBUKA CAKRAWALA

Selasa, 08 Mei 2012

Akhir Sebuah Kehampaan

Panas tercipta, agar kehadiran dingin lebih terasa..
Lapar berasa, agar kenyang dapat disyukuri..
Semua rasa yang menyapa akan lebih terasa dengan rasa yang kita mau, dengan cara yang kita pilih
Semua rasa dapat terungkap, walau dengan tutur yang sederhana
Dan mungkin itu cukup manusiawi...

Lantas... bagaimana dengan sebuah "kehampaan" ??
Aneh rasanya.. tetiba merasa "i'm useles"
Meratapi rasa_keterpurukan hidup, dan mendapati alasan tuk sekedar mencaci.

Semua berjalan seperti biasa..
Namun entah mengapa dengan sebuah kehampaan, kekosongan...
Jalan terhampar, namun mengapa semua terasa buntu?
Cahaya begitu benderang, namun mengapa terasa gulita?
Keramaian kota tak pernah padam, namun mengapa terasa begitu sunyi?
Seorang seniman, mungkin akan mudah untuk tampil lebih produktif karena kehampaan itu sendiri dapat Tervisualisasikan dengan berbagai media: sastra, lukis, nada, pahat dll
Lalu bagaimana dengan kehampaan yang hadir pada diri?
Ah.... rasa yang bodoh, dengan pertanyaan yang bodoh !!

Ya... ya.... mungkin inilah  yang disebut fase hidup
Terkadang kita perlu berputar menjadi orang lain, untuk kemudian menjadi diri sendiri.
Yah.... untuk menjadi kupu-kupu yang cantik, seekor ulat yang menjijikan harus mengurung diri, terpuruk tuk Menjalani sebuah proses dalam kepompong.

Opto Ergosum... Hidup itu pilihan
Memilih untuk  terus terpuruk dengan segala kehampaan yang tak berujung??
Ataukah bergegas meninggalkan semua kebodohan dengan melangkah dan terus melangkah.
Sehebat apapun konsep hidup manusia... lagi-lagi mereka hanya bisa berencana
Namun satu hal yang perlu diingat "Matematika Hidup" bahwa setiap hal yang telah diupayakan akan berdampak.
Walau dengan cara perwujudan yang beragam dengan nilai yang sama.
Kuantitas dan kualitas usaha berbanding lurus dengan hasil, walau hadir dengan cara yang berbeda.
Pilihan untuk mengakhiri sebuah kehampaan.

10 komentar:

  1. kalau mb nana posting artikel,, biasanya ada indikasi galau..
    rak yo tenan to?? hehehe

    BalasHapus
  2. wkwkwkkw, iya dek.... maklum penulis amatirrrrr. lum bisa mengekspresikan kegembiraan, harapan, kebersamaan. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. hebat sekali penulis amatir kita ini, bahasa artikel2nya berat kabeh.. :D

      Hapus
    2. hahahahaha... emang beratnya berapa ton nona manis?? :p

      Hapus
  3. meruntuki nasib itulah sering disampaikan mereka
    terlalu dualistis dalam membelah bambu yang ada
    semakin kosong diri menjadi semakin menarik untuk dihidupkan tingkah rasa tersebut
    ujaran sidarta gautama perlu ditelisik lebih dalam
    agar tak percuma menghadapi
    efek rumah kaca menyajikan nya dalam lagu "balerina"...

    BalasHapus
    Balasan
    1. terkadang menjadi dualistik itu perlu, tuk sekedar menelisik makna di balik kekosongan. rasamu yg akan memberi makna pada kosongnya bambu, tak ada yang percuma karena semua tercipta dalam tanda

      Hapus
  4. mmm... merasa useless, terasa lebih baik, daripada tak merasa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. lebih baik? tapi sakittttttt... Tuhanku ingin bicara padaku pak budi. namun aku terlalu lamban tuk terjemahkan petandaNYA. :)

      Hapus
  5. Mbak ratna kok gak pernah nulis lg?
    Apa karena udah nikah?
    Kangen tau sama tulisannya mbak!
    Sama mbaknya juga!

    Here >> http://adf.ly/CE9B5 <<

    BalasHapus